Budaya Mudik Lebaran Di Indonesia
Sebuah budaya unik
terjadi setiap tahunnya di Indonesia, yang mana secara budaya sangat sakral
untuk umat Muslim sehingga tak satupun orang muslim mau melewatkannya. Setelah
berpuasa selama sebulan di bulan Ramadhan selesai meraka dengan antusias
menjalankan budaya ini. Lebaran atau Idul Fitri adalah momen yang paling
dinanti, hari di mana semua orang Muslim saling memaafkan kesalahan-kesalahan
satu dengan yang lainnya.
Salah satu bentuk
untuk merayakan Lebaran adalah pulang kampung atau lebih dikenal dengan mudik.
Agar dapat berkumpul lagi dengan orang tua dan keluarga, jutaan orang mudik
dari kota, di mana mereka bekerja atau tinggal, seperti Jakarta menuju ke tanah
kelahirannya, yaitu desa. Mereka rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiket
bus atau kereta, atau bahkan menyewa mobil. Berdesak-desakkan di dalam angkutan
umum, berpanas-panasan di atas sepeda motor dan macet berjam-jam di jalanan
merupakan kejadian yang selalu terjadi di setiap Lebaran. Bagi mereka,
kerepotan, penderitaan dan kesulitan yang dihadapi selama dalam perjalanan
pulang kampung tidak dianggap ada setelah mereka bertemu dengan anggota
keluarganya. Dalam kenyataannya, perjalanan panjang selama mudik sering menjadi
cerita yang menarik untuk diceritakan kepada keluarga.Pemudik
(migrants) yang berasal dari desa yang sama biasanya melakukan mudik
bersama-sama. Perusahaan di mana mereka bekerja menyediakan bis atau mobil
sewaan untuk tenaga kerjanya sehingga mereka dapat pulang dengan lebih nyaman
dan merasakan semangat kebersamaan. Seminggu atau bahkan sebulan sebelum
Lebaran, mobil sewaan, tiket bis, dan kereta api sudah dipesan semua. Setiap
orang pergi ke tempat tujuannya masing-masing.
Mudik tidak hanya
untuk orang Muslim saja tetapi sudah menjadi tradisi tahunan yang tidak dapat
dipisahkan dengan komunitas masyarakat Indonesia. Banyak orang yang bekerja dan
tinggal di kota besar mudik karena pada Lebaran mereka mendapat liburan yang
panjang. Biasanya, mereka akan mengunjungi dan mendoakan leluhurnya yang sudah
meninggal di makam. Mudik juga bisa menjadi semacam terapi yang menguatkan
hubungan kekeluargaan. Dalam aspek spiritual, mudik akan membangkitkan
kesegaran dan tenaga baru bila mereka kembali bekerja di kota.
Orang-orang yang bekerja
jauh dengan keluarganya di kota besar sering merasa ada yang kurang dalam
hidupnya dan ‘kekurangan sesuatu’ ini dapat ditemukan kembali pada waktu mereka
pulang kampung. Oleh karena itu mudik Lebaran, selain menjadi tradisi tahunan,
juga memiliki efek perbaikan hidup atau terapi untuk rasa kehilangan bagi
mereka yang hidup jauh dari orang tua dan keluarga.
Penduduk di kota
besar bertambah setiap tahunnya ketika para pemudik kembali ke kota dengan
membawa saudara atau kerabatnya ke kota. Cerita tentang kesuksesan hidup di
kota membuat saudara, anggota keluarga, dan bahkan teman terpengaruh untuk
meninggalkan keluarga dan desanya dan mengadu nasib di kota besar, dengan
harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Menurut Maman S.
Mahayana dalam memaknai mudik. Menyimak tulisan Maman S. Mahayana (Dosen FIB
UI, kandidat doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia) yang disampaikan pada
International Conference of Law and Culture in South East Asia, diselenggarakan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Hankuk University of Foreign Studies,
Seoul, Korea, Depok, FHUI, 13 Juli 2011 dengan judul "Mudik di Indonesia
dan Korea" yang dimuat website http://www.lenteratimur.com
dan tulisan lainnya yang hampir serupa dengan judul "Akar Sosiologis Mudik
Lebaran" yang lebih awal dimuat website http://megapolitan.kompas.com pada
tanggal 8 September 2010, terdapat penafsiran makna menyudutkan bahwa mudik
lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Benarkah demikian adanya ?
Maman S. Mahayana
dengan gamblang menjelaskan bahwa kata mudik itu lebih dekat pada pengertian
pergi ke udik, juga dapat ditelusuri dari kata bentukan dari kata dasar udik:
memudik yang bermakna berlayar mudik (ke hulu), dan memudikkan yang bermakna
menjalankan perahu kearah hulu. Mengingat udik berada di daerah atau wilayah
hulu yang jauh di pegunungan atau pedalaman, maka kata udik mengacu pada suatu
daerah atau wilayah yang berada di kawasan pedalaman, pedusunan, pedesaan atau
perkampungan. Sampai di sini, sesungguhnya kata udik masih berkonotasi netral.
Ketika seseorang dikatakan sebagai orang udik, artinya orang itu berasal dari
daerah hulu atau daerah pedalaman. Pernyataan orang udik sama sekali tidak
berkonotasi negatif.
Menurut Maman S.
Mahayana, dalam perkembangannya, ketika bermunculan wilayah perkotaan, dan kota
dianggap sebagai pusat kemajuan, makna kata udik yang semula netral bergeser
menjadi berkonotasi negatif, yakni sebagai wilayah yang belum tersentuh oleh
kemajuan. Wilayah-wilayah itu berada di daerah pedalaman, pedusunan, pedesaan
atau perkampungan yang dianggap masih terbelakang. Maka, konsep udik dalam
pengertian sebagai wilayah pedalaman, pedusunan, pedesaan atau perkampungan
berseberangan maknanya dengan konsep kota dan perkotaan. Jadilah hubungan
kota—desa atau kota—udik, sebagai hubungan yang maknanya berkaitan dengan
kemajuan dan keterbelakangan. Inilah awal mula makna kata udik memperoleh
nuansa negatif sebagai wilayah terbelakang yang belum tersentuh kemajuan.
Sampai tahun
1970-an, kata mudik belum dimaknai sebagai pulang ke kampung halaman. Bahkan,
mudik tidak ada kaitannya dengan hari raya Iedul Fitri atau Lebaran. Ketika itu,
mudik dan lebaran adalah dua peristiwa yang tidak ada hubungannya.
Setidak-tidaknya, jika kita dapat mencermati sejumlah karya sastra yang
bercerita tentang lebaran atau yang secara eksplisit menggunakan judul:
lebaran, maka kita akan sia-sia saja mencari kata mudik di sana. Jadi, sampai
tahun 1970-an itu, lebaran tidak ada hubungannya dengan mudik atau sebaliknya.
Lebaran dan mudik adalah dua peristiwa yang ketika itu tidak ada perkaitannya.
Pertanyaannya kini: kapan mulanya mudik mengalami penyempitan makna menjadi
pulang ke kampung halaman yang lalu berkaitan dengan lebaran?
Fenomena mudik
yang lalu dikaitkan dengan lebaran, terjadi pada awal pertengahan dasawarsa
1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang
mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali
Sadikin (1966—1977) berhasil disulap menjadi kota metropolitan. Tanpa disadari,
sistem pemerintahan sentralistik yang diterapkan penguasa Orde Baru memperoleh
legitimasi sosiologis ketika ibukota negara melesat dengan berbagai kemajuannya
dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air. Jakarta seketika menjadi pusat
orientasi sosial, budaya, politik, dan pemerintahan. Bagi penduduk kota-kota
lain, dan terutama orang-orang udik, Jakarta menjelma sebagai kota impian.
Dengan begitu, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik yang di
kampung tak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya. Boleh jadi, lebih
dari 80 % para urbanis ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan.
Dari jumlah itu, lebih setengahnya adalah masyarakat tidak terdidik atau
setengah terdidik. Jadi, secara sosiologis, mereka adalah kelompok masyarakat
menengah ke bawah yang secara kultural satu kakinya berada di kampung halaman
dan satu kakinya lagi enggan berada di Jakarta.
Dengan kesadaran
itu, bagi mereka yang belum dapat menetap dan hidup mapan di Jakarta, secara
psikologis, tidak hanya merasa perlu mendapatkan legitimasi sosial atas
keberadaannya di Jakarta, tetapi juga sekaligus ingin menunjukkan kehadirannya,
keberadaannya, eksistensinya. Di Jakarta, eksistensi mereka tenggelam,
sementara legitimasi sosial atas keberadaan mereka juga tak kunjung datang.
Itulah sebabnya, kehadiran mereka di kampung halaman akan dapat memenuhi
harapan itu. Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu. Sebab, pada hari
lebaran ada dimensi keagamaan; ada legitimasi seolah-olah lebaran adalah waktu
yang tepat untuk berziarah. Pergi ke kampung halaman adalah kamuflase dari
semangat memperoleh legitimasi sosial dan menunjukkan eksistensinya. Itulah
awal mula pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai
akar budaya.
Kesimpulan & Pendapat.
Jadi, sesungguhnya
tradisi mudik (Jakarta ke udik) lebih disebabkan oleh problem sosial, dan sama
sekali tidak didasarkan oleh akar budaya. Lebaran adalah momentumnya.
Tengoklah, sebagian besar para pemudik itu adalah kelompok masyarakat menengah
ke bawah yang ingin menunjukkan kepada masyarakat udiknya, seolah-olah di
Jakarta mereka telah mencapai sukses.
Begitulah, mudik
pada hari Lebaran di Indonesia sesungguhnya tidak punya akar tradisi budaya,
melainkan lebih disebabkan oleh problem sosial akibat sistem pemerintahan yang
sentralistik dengan Jakarta sebagai pusat segala-galanya. Mengingat para
pemudik sebagian besar adalah mereka yang belum dapat tinggal dan hidup mapan
di Jakarta, maka mudik lebaran menjadi momentum penting bagi mereka untuk
melegitimasi keberadaannya di ibukota sebagai seolah-olah telah mencapai
sukses, baik secara materi maupun sosial. Terlepas dari latar belakang
munculnya fenomena mudik itu, masalah yang ditimbulkannya dari tahun ke tahun
–menjelang dan sesudah lebaran—selalu sama: antrean panjang karcis kereta api;
harga sembako naik, harga tiket bus, kereta api, kapal laut, pesawat terbang,
sampai ke ongkos angkot, bajaj, dan ojek, melonjak seketika; pesta para calo;
kemacetan terjadi di mana-mana, dan jatuh korban kecelakaan lalu lintas. Lalu,
selepas libur panjang lebaran itu, kantor-kantor pemerintah kosong lantaran
para pegawainya menambah jatah libur, orang udik membawa lagi orang udik yang
lain, dan masyarakat desa memelihara mimpi mereka untuk dapat menikmati gaya
hidup kota. Mudik lebaran pada akhirnya lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya. Pemerintah atas nama pelayanan masyarakat justru seperti
sengaja memanjakan kemudaratan itu.
Menjelang hari
besar seperti lebaran mudik merupakan pemandangan yang bisa dilihat
dimana-mana. Semua orang merasa tidak afdol jika tak mudik. Padahal silaturahmi
tidak hanya dilakukan di bulan Syawal. Karena jika tradisi mudik ini sampai
mengorbankan puasa malah menjadi mudharat. Karena sesungguhnya puasa merupakan
ibadah utama sedangkan mudik tradisi belaka. Semoga puasa teman- teman tetap
terpelihara sehingga mendapat manfaat ganda yaitu meraih kemenangan dan
mempererat silaturahmi. Amin.
Sumber :
dfian.com, http://raharja-blog.blogspot.com, http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-
web/artikel/sosial-budaya/1219-penafsiran-mudik-lebaran-dalam-aspek-sosial-budaya-bangsa-indonesia
Mudik di akhir Ramadan, saat yg bertakwa mengejar lailatul qadar di mesjid, para pemudik melalui malam2 penuh rahmat itu dengan berdesakan di kapal feri. Entah apa yang dicari, alasan silaturahmi malah justru mengorbankan tarawih bahkan sampai memaklumi diri boleh tak berpuasa saat musafir. Rugi, pedih, cemas, takut tak lagi bertemu Ramadan lagi tahun depan. Apakah ada perintah bepergian di akhir Ramadan, tak bisakah silaturahmi bada Ramadan atau kapan saja selain Ramadan. Mereka menyebutnya "momentum". Pemahaman momentum itu yang tak selaras dengan hakikat Ramadan sesungguhnya.
BalasHapus