Senin, 07 Oktober 2013

sumpah pemuda

SUMPAH PEMUDA

Sumpah Pemuda adalah bukti otentik bahwa tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Oleh karena itu sudah seharusnya segenap rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari dimulainya proses lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945. Rumusan / teks sumpah pemuda ditulis oleh Moehammad Yamin. Salah satu dari 3 butir deklarasi itu adalah mengenai bahasa. Karna saat itu bahasa Indonesia diresmikan menjadi bahasa negara dan menjadi bahasa persatuan dari sekian ratus bahasa daerah.
Tentang isi teks dari Sumpah pemuda adalah sebagai berikut :
   
PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Gagasan tentang penyelenggaraan Kongres Pemuda II (momen pembacaan teks sumpah pemuda) adalah dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Saat kongres ini ditudup diperdengarkan lagu Indonesia raya karya Wage Rudolf Supratman. Yang akhirnya juga ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda saat itu, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Sumpah Pemuda merupakan sumpah setia hasil rumusan Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres Pemuda II, dibacakan pada 28 Oktober 1928. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai “Hari Sumpah Pemuda”.

Kongres Pemuda II
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, ketua PPI Soegondo (lihat Sugondo Djojopuspito) berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola (dimainkan dengan biola saja atas saran Sugondo kepada Supratman, lihat juga Sugondo Djojopuspito). Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Peserta
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPI, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie serta Kwee Thiam Hong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Mungkin bagi mereka yang sudah dewasa masih mengingat bagaimana cerita perjuangan hingga pahlawan kita bisa melahirkan Hari Sumpah Pemuda. Tidak hanya cerita, di sekolah pun dalam pelajaran sejarah dikupas secara mendalam, bahkan isi dari Sumpah Pemuda itu wajib dihapalkan oleh setiap siswa.
Namun saat ini generasi muda bangsa ini justru melupakan makna Sumpah Pemuda itu. Nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang ditunjukkan para pemuda 83 tahun yang lalu sudah tidak tergambarkan saat ini. Aksi tawuran yang sering terjadi banyak melibatkan kalangan generasi muda.
Yang lebih miris lagi, aksi tawuran ini dilakukan oleh kalangan pelajar dan mahasiswa, yang notabene tulang punggung negeri ini. Tidak hanya terjadi di Jakarta, aksi tawuran ini juga terjadi di kota-kota lainnya di Indonesia.

Masyarakat di mana pun sudah pasti gerah melihat aksi tawuran pelajar, mahasiswa, atau siapapun juga. Mahasiswa seharusnya memiliki intelektualitas yang tinggi sehingga tidak perlu menyelesaikan masalah dengan tawuran. Perilaku tawuran mereka itu sama saja berarti mereka mempelajarinya di bangku kuliah selain pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Entah apa yang menjadi pemicunya sehingga mereka bisa berbuat seperti itu? Jawabannya memang klise, hal ini akibat dari perkembangan jaman, dan perkembangan jaman itu juga berdampak pada perkembangan pola pikir.

Tapi, apakah pola pikir itu serta merta juga membuat generasi muda di negeri ini melupakan nilai-nilai sejarah? Diyakini generasi muda saat ini banyak yang tidak tahu jika kita menanyakan siapa saja tokoh yang terlibat pada sumpah pemuda 83 tahun yang lalu.
Menyikapi permasalahan ini, sudah selayaknya kita meminta kepada kalangan generasi muda agar nilai-nilai Sumpah Pemuda harus terus dihayati, dalam menghadapi berbagai persoalan nasional maupun internasional.

http://anisadiansekarsari.blogspot.com/2012/11/artikel-tentang-sumpah-pemuda.html
http://irfan3142.blogspot.com/2012/11/artikel-sumpah-pemuda.html

http://theresia-erni.blogspot.com/2012/10/tentang-sumpah-pemuda-bagi-bangsa.html

bahasa sebagai jati diri



BAHASA SEBAGAI JATI DIRI

Bahasa sebagai alat komunikasi manusia dengan manusia lainnya, dan jati diri adalah sebuah identitas atau ciri atau karakteristik. Sebagai contoh saya akan membahas tentang bahasa Indonesia yang menjadi identitas jati diri bangsa negara Indonesia.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:

1.      Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

2.      Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.

Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai.

Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah dan Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Bangsa indonesia dituntut untuk dapat mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena globalisasi dengan segala pengaruhnya akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama bahasa. Dengan bahasa yang semakin global, terutama bahasa inggris, yang dipakai oleh hampir semua bangsa di dunia. Memungkinkan adanya penggerusan terhadap bahasa-bahasa yang lebih lemah dan tidak memiliki jati diri yang kuat.

Sehingga hal ini dapat mengakibatkan bahasa yang terdapat pada suatu bangsa menjadi kehilangan kedudukannya. Lalu bagaimana dengan bahasa indonesia? Pada saat sekarang mulai tampak adanya indikasi ke arah sana. Dimulai dengan adanya kecenderungan penamaan setiap perusahaan, reklame, tempat hiburan, tempat perbelanjaan, film, gedung, dan banyak lainnya dengan bahasa asing, seperti Factory Outlet, Cilandak Town Square, Bandung Super Mall, dll.

Ditambah dengan adanya fenomena bahwa bahasa asing lebih diprioritaskan oleh berbagai masyarakat, terutama oleh kalangan masyarakat kelas atas yang dari segi finansial cukup memadai. Adanya anggapan bahwa bahasa asing lebih bersifat maju dan memiliki gengsi sosial yang lebih tinggi. Dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang dengan bangga menggunakan bahasa asing di setiap kesempatan. Menjadikan bahasa asing sesuatu yang penting untuk dikuasai dan dipelajari.

Bahkan di beberapa media cetak dan media elektronik diketahui bahwa beberapa artis dan masyarakat kelas atas lainnya mendidik, mengajari, dan menggunakan bahasa asing (bahasa inggris) kepada anaknya sejak mereka belajar berbicara pertama kali. Dengan alasan agar memudahkan anaknya kelak dalam menguasai bahasa asing ketika berhadapan dengan era global, dimana dituntut memiliki keahlian berbahasa asing yang baik, terutama bahasa asing.

Hal ini merupakan suatu ironi yang sangat menyedihkan. Karena dengan alasan apapun, penggunaan bahasa asing sejak mulai belajar berbicara adalah suatu sikap yang tidak dapat ditolerir. Karena kebanggaan dan kehormatan terhadap bahasa indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara tidak dapat dibeli dan tergantikan oleh apapun.

Harus dapat dibedakan situasi yang terjadi di indonesia dengan negara lainnya semisal Hongkong, India, Singapura, dan Malaysia. Di Hongkong, bahasa inggris merupakan bahasa resmi kenegaraan. Di Singapura dan Malaysia, bahasa inggris digunakan sebagai bahasa persatuan bagi berbagai etnis yang terdapat disana, seperti Melayu, Tionghoa, dan India. Di India, bahasa inggris menjadi bahasa yang sering digunakan karena keterikatan historis yang cukup kuat antara india dan inggris. Sedangkan di Indonesia tidak ada sama sekali alasan dan pembenaran terhadap sikap memprioritaskan bahasa asing, dalam hal ini bahasa inggris.

Dengan melihat dari sudut pandang yang berbeda bahwa kita hidup di sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan menurut pasal 36 UUD 1945, "Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia", dan hal demikian memang tidak bisa dipungkiri. Namun, sadarkah Anda dalam linguistik sistemik yang diperkenalkan oleh Halliday dan Derewianka, penggunaan suatu bahasa harus didasarkan atas tujuan dan dengan siapa kita berbicara. Menurut Melrose (1995) Systemic Functional Grammar adalah teknik pembelajaran bahasa yang berorientasi pada proses yang menempatan konteks dan tujuan sebagai aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam proses menciptakan hasil fungsi sosial yang sesuai dari berbagai genre atau jenis teks. Namun ada satu pendapat dari seorang pengajar asal Australia, Bevery Derewianka (1983) yang menyatakan pada konteks sosial yang berbeda-beda, pada akhirnya, jenis teks berbeda tidak hanya dari segi tujuan tetapi juga berbeda dalam kaitannya dengan situasi tertentu di mana jenis teks tersebut sedang digunakan. Jadi kesimpulan dari pendapat ini adalah jenis teks, bahasa, dan tata bahasa dapat digunakan secara berbeda-beda tergantung berdasarkan situasi saat kita berbicara, dengan siapa kita berbicara, serta dalam konteks dan tujuan seperti apakah kita berkomunikasi.

Kembali kemasalah filosofi bahasa tadi. Sekarang sudah jelas bahwa filosofi utama penggunaan suatu bahasa harus didasarkan atas konteks, siapa, dan tujuan dari berkomunikasi itu sendiri, baik lisan ataupun tulisan. Pertanyaan mudah, "Apakah penggunaan bahasa Indonesia akan mengikis jati diri antar suku pengguna bahasa daerah?" Biarpun bahasa Indonesia memiliki kedudukan hukum yang tinggitoh masih banyak jati diri lokal yang tetap terpelihara dengan baik.

Banyak sekali kata-kata serapan dalam bahasa Indonesia, apakah bahasa Indonesia itu miskin? Tidak! Banyak dijumpai akar dari bahasa Indonesia adalah baahsa Melayu dan mungkin bahasa ini asing bagi kita, namun begitulah bahasa Indonesia, kaya, namun miskin yang digunakan.

Dari contoh di atas, tujuan, dengan siapa kita berbicara, dan dalam situasi seperti apa kita berbahasa telah menjadi contoh positif mengenai penggunaan bahasa, bahasa apapun itu, mengingat tidak semua istilah dalam bahasa Jawa dapat di-Inggriskan dan begitu pula sebaliknya. Berbicara modernisasi kita juga akan berbicara mengenai jati diri bangsa. Apakah dengan adanya modernisasi, misal penggunaan beton pada bangunan dan bukannya kayu, digunakannya celana jeans dan bukannya beskap akan menghilangkan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia? Masilah kita ingat pelajaran Ilmu Sosial mengenai berbagai macam rumah adat dan pakaian adat. Apakah itu juga disebut menghilangkan jati diri bangsa? Adalah sebuah paranoya psikologis yang membuat hal-hal demikian terjadi. Adalah sesuatu hal yang arif jikalau kombinasi antara eksotika tradisionalisme dengan kecanggihan modernisasi akan membuat jati diri sebuah bangsa tidak hanya terekam dalam benak warga masyarakatnya, namun juga dalam ingatan para tamu asing yang berkunjung ke negara kita.

Jika alasan jati diri digunakan untuk menghapuskan ataupun menafikan pentingnya bahasa lain, maka sama halnya kita menafikan modernisasi dan kemajuan. Salah satu contoh sederhana dalam gabungan antara jati diri bangsa dengan modernisasi berbahasa dari diri saya sendiri adalah digunakannya bahasa Indonesia dalam tampilan sistem operasi windows laptop saya. Kita tahu, komputer jinjing merupakan produk luar yang banyak orang Indonesia lebih memilih tampilan menggunakan bahasa Innggris dibanding bahasa Indonesia. Lalu patutkah kita sebut itu sebagai penghilangan jati diri bangsa? Perlu kita putar kembali mengenai esensi berbahasa. Berbahasa bertujuan untuk berkomunikasi dan berkomunikasi memiliki maksud untuk menyampaikan pesan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Sesederhana itu bukan?

Kembali ke filosofi berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tahukah Anda berapa persen dari kita yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Bahasa apapun itu terbagi atas beberapa tingkatan baik formal maupun tidak formal. Sekali lagi itu tergantung pada konteks dengan siapa dan situasi bagaimana kita berbicara. Jati diri bangsa Indonesia sudah jauh hilang saat kekerasan lebih diutamakan daripada seyuman. Jati diri Indonesia sudah terkikis sejak korupsi lebih maju daripada kejujuran. Lebih lagi jati diri bangsa ini sudah tidak tersisa saat bahasa dirusak oleh emosi dan filosofi arif yang positif hanya dilakukan dengan setengah hati. Jadi, jati diri bangsa tidak bisa diukur dengan kelebihcintaan kaula muda atas bahasa asing. Jikalau memang demikian yakinkan Anda lebih dari 50% generasi muda bangsa ini lebih menyukai bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia? Jikalau demikian buktikan dengan tabel yang akurat, maka saya yakin kedudukan bahasa Indonesia memang benar-benar dalam hal ikhwal yang terancam sangat amat.
Bahasa Indonesia memiliki posisi yang sangat penting dan menjadi jati diri bangsa. Untuk itulah keberadaan bahasa Indonesia harus dipertahankan. Dan dengan berharap dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik di tengah perkembangan zaman. Dengan demikian, masyarakat diharapkan tetap bangga menggunakan bahasa Indonesia sehingga bangsa Indonesia pun tidak kehilangan jati dirinya.

http://www.balaibahasajateng.web.id
http://andika.mediafa.web.id/2013/01/filosofi-bahasa-jati-diri-bangsa.html

bahasa.kompasiana.com/.../bahasa-sebagai-sebuah-jati-diri-496734.html?