Rabu, 20 Juni 2012

Ketika Budaya Baca Terlindas Internet


Ketika Budaya Baca Terlindas Internet

Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 101 Masehi oleh Tsai Lun seorang warga berkebangsaan Cina, peran kertas terus mengalami perkembangan. Sebagai sebuah media ringan dan mudah dipindah serta didistribusikan, kertas telah banyak dipakai terutama dalam dunia percetakan, pendidikan dan perkantoran. Dalam dunia percetakan, kertas dapat diubah menjadi sebuah buku, surat kabar, majalah, brosur serta kedalam berbagai bentuk lain yang mengandung sebuah nilai informasi. Jadi, kalau kita berbicara tentang kertas, maka sudah pasti tidak akan jauh dari kegiatan membaca dan menulis.

Membaca merupakan sebuah sikap positif yang bisa dilakukan oleh siapa saja, dimanapun dan kapanpun. Secara tidak langsung, membaca dapat mengajarkan kita bagaimana berkomunikasi dengan sang penulis, walaupun dengan konsep dan tempat yang berbeda. Membaca juga dapat memberikan rasa tenang dan mampu menciptakan fikiran yang positif pada diri orang yang suka membaca.
Membaca sendiri merupakan kegiatan yang bisa dibina dan dikembangkan, hingga seseorang akan merasa terikat dan termotivasi untuk membaca, serta membuat orang yang rajin membaca menjadi kecanduan dan akan sulit sekali untuk melepaskan diri dari kegiatan membaca.

Dunia Online
Internet merupakan salah satu media yang begitu akrab dikalangan masyarakat perkotaan, tetapi masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pedesaan juga tak ingin ketinggalan, mereka mulai aktif belajar bagaimana menguasai teknologi informasi (dunia online) yang dapat memberikan mereka jutaan informasi yang dikemas ke dalam sebuah perangkat teknologi. Teknologi digital merupakan salah satu bagian dari kemajuan dunia internet. Teknologi ini sendiri sudah dipakai hampir semua kalangan individu dan lembaga baik swasta dan pemerintah. Kemajuan teknologi digital ibarat arus sungai yang mengalir deras, dan sulit sekali untuk dibendung.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak sekali bermunculan bahan bacaan seperti halnya surat kabar, majalah dan tabloid yang disajikan dalam bentuk digital (e-paper). Konsep yang ditawarkan sama seperti kita membaca surat kabar atau majalah biasa, baik dari cara membaca berita dan bentuk surat kabar yang sudah diperkecil dari ukuran versi cetaknya, yang menarik adalah kita dapat membolak balik halaman sama seperti kalau membaca surat kabar seutuhnya, tinggal klik saja dengan satu setuhan ujung jari, maka berita halaman berikutnya sudah bisa kita baca.

Mungkin tidak semua orang bisa memanfaatkan fasilitas ini, karena membaca sebuah surat kabar dalam bentuk e-paper membutuhkan perangkat pendukung seperti komputer, laptop, gadget dan bisa juga menggunakan ponsel (hp) yang dilengkapi dengan akses internet.

Demikian juga dengan beberapa penerbit dan percetakan, yang mulai mempublikasikan hasil terbitannya melalui media internet dalam bentuk digital. Isi dan tampilan juga sama seperti buku yang dibuat dalam bentuk cetakan. Dan untuk membaca buku versi digital juga dibutuhkan perangkat pembantu seperti halnya komputer.

Kemudahan yang diberikan dalam bentuk digital telah banyak memberikan pengaruh dalam perkembangan dunia cetak dewasa ini. Bentuk digital dirasa lebih mudah dan fleksibel untuk dibawa kemana-mana seperti buku yang telah di input kedalam versi digital. Kalau dalam bentuk cetakan (hard cover) jumlah buku yang sanggup untuk dibawa kedalam tas paling banyak lima judul, itu juga tergantung tingkat ketebalannya. Tetapi kalau dalam bentuk digital, kita bisa membawa lebih banyak lagi tergantung dari kesanggupan memori yang dipakai untuk menyimpan koleksi digital dalam perangkat pendukung.

Tingkat penggunaan media internet di dunia pada tahun 2011 telah mencapai dua miliar pengguna. Hal itu diungkap badan telekomunikasi PBB, Hamadoun Toure. Pertumbuhan online tercepat beberapa tahun terakhir terjadi di dua negara. Di Arab, perkiraan jumlah pengguna internet mencapai 88 juta, dua kali lipat dibandingkan lima tahun lalu. Pertumbuhan di bekas Uni Soviet Commonwealth of Independent States bahkan lebih cepat, 127 juta orang menggunakan internet disana tahun lalu, yang pada 2007 hanya 51 juta.

Sungguh angka yang sangat besar. Tingkat membaca surat kabar dalam bentuk digital juga meningkat tajam. Ini semua terjadi karena berita yang disajikan cenderung baru dan lebih menarik karena ditambah dengan gambar bergerak, mudah didapat, praktis dan dapat disimpan.

Perkembangan teknologi informasi akan terus terjadi, kita tidak akan pernah tahu besok atau lusa penemuan apalagi yang akan mengguncang dunia, terutama dalam bidang pemanfaatan teknologi informasi. Kehadiran berbagai bahan informasi dalam bentuk digital (online) tentu harus berjalan searah dengan kemajuan industri percetakan dalam bentuk tercetak.

Kesimpulan.
Bagaimanapun, bahan bacaan dalam bentuk cetakan (kertas) mampu memberikan warna tersendiri terhadap tingkat membaca masyarakat seperti halnya buku dan surat kabar. Orang yang sudah terbiasa membaca buku dalam bentuk cetakan akan sulit beralih ke versi digital. Kenyamanan merupakan faktor utama yang diprioritaskan oleh semua individu ketika mulai membaca, tidak semua individu sanggup berlama-lama membaca buku dalam versi digital.

Semoga saja, kehadiran beragam bahan bacaan dalam bentuk digital, tidak menggilas kebiasaan membaca dalam bentuk tercetak (kertas) yang sudah lama hadir dan menyatu dengan hati masyarakat kita.

Budaya Menulis di Indonesia


Budaya Menulis di Indonesia
Orang-orang Indonesia saat ini kurang atau minim budaya tulis-menulis. Baik itu orang kota maupun orang desa, khususnya bagi orang dewasa. Budaya menulis seakan budaya yang cukup langka di negara ini. Jarang sekali kita jumpai orang di sekitar kita yang mempunyai budaya menulis. Kita lihat saja teman-teman kita, tetangga kita kebanyakan mereka jarang menulis. Tetapi apabila ada yang rajin menulis itu merupakan suatu kebanggaan bagi dirinya sendiri.
Menulis yang dimaksud di sini adalah menulis sesuatu yang bermutu, positif, bermanfaat dan bisa menginspirasi orang-orang dalam hal ini para pembaca untuk melakukan sesuatu yang positif. Sehingga dari hal itu bisa menjadikan masyarakat sejahtera yang diperoleh dari kegiatan membaca dan menulis tersebut.
Ada orang yang berpendapat, bahwa orang yang suka menulis itu juga orang yang suka dengan budaya membaca. Sebaliknya orang yang suka membaca itu belum tentu orang itu suka dengan budaya menulis. Menurut saya ada benarnya juga dengan pendapat tersebut. Kerena menulis itu dibutuhkan suatu ilmu atau pengetahuan dari seseorang.
Menulis tidak hanya bisa dilakukan dengan media kertas saja. Menulis bisa saja menggunakan media internet yang merupakan media yang modern saat ini. Di internet bisa kita jumpai penyedia layanan untuk menyimpan dan juga mempublikasikan tulisan kita kepada orang lain. Ada Blog untuk menyediakan kita wadah untuk menulis di internet. Ada juga layanan media jejaring sosial untuk menyalurkan budaya menulis kita. Dengan media internet kita bisa berbagi ilmu kepada orang lain.
Saat ini banyak penyedia layanan Blog, baik gratis maupun berbayar. Hal itu membuat kita para pengguna internet seakan dimanjakan oleh penyedia layanan Blog tersebut untuk mengekspresikan diri. Kita bisa membagikan cerita, pengalaman, ide kita kepada orang lain. Bukan hanya tulisan saja yang dapat kita publikasikan kepada khalayak, tetapi juga foto-foto kita, gambar-gambar kita pun bisa juga kita publikasikan.
Memang saat ini sedang tren budaya menulis di internet. Saat ini masyarakat Indonesia sedang menunjukkan perkembangan budaya menulis khususnya menulis dengan Blog. Hal itu merupakan sesuatu yang positif karena bisa meningkatkan kesadaran akan manfaat teknologi dalam hal ini sebagai media untuk menulis.
Dengan adanya budaya menulis itu dapat memberikan banyak manfaat kepada kita. Bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga orang lain pun dapat memetik manfaatnya juga. Bagi penulis sendiri, penulis menjadi semakin peka terhadap perkembangan jaman. Dengan adanya perkembangan budaya menulis dapat menambah kekayaan ilmu pengetahuan bagi orang lain apabila ilmu itu disebarkan kepada orang lain.
Menulis adalah sebuah aktivitas positif. Dengan menulis, kemampuan berpikir seseorang akan diasah secara sistematis dan solutif. Mengapa demikian? Karena, berawal dari menulis seseorang akan mampu menciptakan permasalahan-permasalahan dalam tulisannya dan menyelesaikan persoalan yang ditulisnya tersebut secara kreatif. Sehingga, bisa dikatakan bahwa proses menulis adalah proses berpikir dewasa seseorang secara dignosa realistik sistemik.
Namun, sayangnya tak banyak orang Indonesia yang mengetahui manfaat menulis. Bahkan, mirisnya tak sedikit yang tidak mampu menulis juga. Merekapun tak mampu membaca dan mengenyam pendidikan. Sebuah kondisi yang sungguh memprihatinkan.
Kebudayaan Indonesia yang indah dan beragam tentu memberikan dampak menyenangkan bagi otak untuk menangkap ide dan menuliskannya dalam bentuk tulisan. Selain itu, dengan rutin menulis seseorang akan rutin pula membaca. Karena menulis dan membaca memiliki korelasi yang tidak akan pernah bisa dipisahkan.
Menulis merupakan proses kreatif yang mampu menambah kecerdasan seseorang. Impuls-impuls syaraf dalam otak akan teraktivasi sehingga bisa membantu mengurangi penyakit lupa atau kepikunan. Oleh karena itu, begitu hebatnya budaya menulis jika dibangun dalam kebudayaan Indonesia.
Dan ternyata, menulispun memiliki tingkat kesulitan yang lebih jika dibandingkan dengan berbicara. Melalui menulis, seseorang akan berusaha berpikir kritis untuk menuliskan sesuatu yang terucap dalam bentuk tulisan. Maka, menulis bisa dikategorikan sebagai senam otak yang mampu menyehatkan pikiran dan menumbuhkan kreativitas bangsa.
Kesimpulan.
Sebagai masyarakat yang berbudaya, haruslah disadari bahwa menulis merupakan langkah strategis dalam mengokohkan kepribadian budaya bangsa Indonesia.
Tentunya, sangat disayangkan sekali jika budaya menulis dengan segala manfaatnya itu tidak dibangun di Indonesia. Budaya menulis yang baik pasti akan menciptakan insan-insan Indonesia yang gemar pula membaca. Jika gemar membaca, maka pengetahuanpun akan meningkat. Dan, jika pengetahuan meningkat, maka tingkat kecerdasan dan moral bangsa akan bernilai luhur.  Hal tersebut dapat memberikan dampak positif bagi perilaku masyarakat Indonesia secara luas kedepannya.
Semoga dengan semakin maju dan berkembangnya budaya menulis di kalangan masyarakat pada khususnya, dan warga Indonesia pada umumnya dapat menjadikan masyarakat kita sadar ilmu pengetahuan. Terlebih lagi menjadikan negara Indonesia tercinta semakin maju, dapat bersaing dengan negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita.
Sumber: /tetsukoeika.wordpress.com, udinwidarso.wordpress.com/2012/02/01/budaya-menulis-di-indonesia

Budaya Konsumerisme


Budaya Konsumerisme
Akhir tahun merupakan salah satu yang menarik terutama dalam melihat fenomena belanja yang begitu tinggi. media eletronik maupun media cetak pastinya tidak mau melewatkan kesempatan untuk memasang iklan agar konsumen tertarik untuk membeli barang yang diiklankan apalagi disertakan dengan diskon besar-besaran di toko-toko dan mall-mall. Peran media yang begitu tinggi dengan iklan yang dipoles sedemikian rupa hingga menarik mampu memudahkan memudahkan informasi mampu membuat para konsumen tergilagila untuk belanja, mengikuti kemauan pasar. Tak hanya sampai di belanja masyarakat umum pun berlombalomba membentuk dirinya sesuai dengan apa yang telah dipertontonkan oleh media massa, seperti gaya pakaian ala artis di TV.
Di sisi lain iklan seolah-olah juga mampu menawarkan berbagai solusi disetiap masalah yang dirasakan oleh masyarakat, mulai dari obat-obatan, pakaian, dan banyak lainnya padahal semua itu hanyalah Solusi-solusi yang benar tidaknya, hanyalah untuk menggapai keuntungan bagi diri pengiklan itu dengan meraup keuntungan sebesar-besarnya. Propaganda iklan melalui TV membuat masyarakat hilang kesadaran fungsi dari barang yang mereka gunakan seperti pakaian, makan, dan tempat rumah. Hari minggu, iklan anak-anak mulai dari pagi, semua diwarna oleh makanan dan minuman. Anak-anak yang kurang mampu tidak terlalu jadi soal karena hasrat yang terbangun itu hanyalah sebatas angan-angan tapi bagi yang punya atau mampu anak-anak otomatis akan jadi konsumtif betulan. Berbagai cara dan acara TV menyajikan iklan meskipun sebenarnya bukan jeda iklan, seperti Komedi, Kuis dan Reality Show, sehingga yang lebih banyak disajikan bukan acaranya tapi iklan yang menjadi intinya. TV bukan saja mampu menyajikan pakaian, makan dan tempat tinggal tetapi negara juga mampu mengiklankan diri mereka sebagai negara yang begitu besar dan kuat dengan teknologi dan para superhero mulai dari Supermen, Spiderman, Rambo dan teknologi yang mampu mengalahkan kehendak tuhan.
Kita sebut saja Amerika Serikat bagaimana tertanam dalam pikiran kita bahwa amerika adalah negara yang maju dan tak terkalahkan. Iklan yang tersebar dalam media eletronik dan cetak sering mampu memberikan solusi disetiap masalah salah satunya ketika percayaan diri berlebihan anak muda melihat kondisi tubuh mereka yang tidak sempurna selalu ada solusi yang ditawarkan seperti 'kalau kurus tidak keren iklan' ini langsuk menyentuh fisik para konsumen iklan yang diputar berkali-kali itu membawa para remaja yang merasa tubuhnya kurang bagus akan berlombalomba membeli barang tersebut agar masalah yang dialalmi konsumen bisa diselesaikan. Iklan sampo dan sabun yang diperankan oleh artis-artis cantik mencoba menawarkan kepada para kaum hawa untuk menyempurnakan penampilan mereka di depan kaum adam, bagi mereka yang tidak percaya diri mulai berlomba-lomba membeli perlengkapan mempercantik diri berharap akan mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. Kondisi belanja seperti itu membuat para kosumen menghabiskan anggaran hidup mereka hanya untuk melengkapi kekurangan.
kondisi masyarakat yang makin hari makin dewasa ini makin tidak bisa menahan hasrat belanja yang begitu besar, propaganda iklan sudah mulai masuk dalam alam bawah sadar manusia, ini menjadi ancaman yang serius bagi masyarakat tersebut. Konsumerisme sebetulnya adalah masalah yang terletak pada hubungan sosial atau dalam logika sosial. Kita mungkin tidak sadar bahwa kita tidak hanya mengonsumsi barang, namun juga berada dalam lingkungan sosial dimana manusia saling berhubungan atau berinteraksi. Semestinya kepekaan sosial kita yang harus dikedepankan. yang makin hari makin dewasa ini makin tidak bisa menahan hasrat belanja yang begitu besar, propaganda iklan sudah mulai masuk dalam alam bawah sadar manusia, ini menjadi ancaman yang serius bagi masyarakat tersebut. Konsumerisme sebetulnya masalah yang terletak pada hubungan sosial atau dalam logika sosial. Kita mungkin tidak sadar bahwa kita tidak hanya mengonsumsi barang, namun juga berada dalam lingkungan sosial dimana manusia saling berhubungan atau berinteraksi. Semestinya kepekaan sosial kita yang harus dikedepankan.

Perkembangan teknologi sekarang ini, terutama tentang gadget, telah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Istilah global village pun menguak tentang perkembangan teknologi ini. Sehingga jarak dan waktu bukanlah penghalang lagi untuk orang-orang mengakses suatu informasi. Namun, sadarkah kita, perkembangan yang begitu pesat ini ternyata telah melunturkan nilai logika kita dalam mengkonsumsi suatu barang atau benda. Masalahnya, budaya konsumerisme telah berkembang dinegeri ini. Bahkan, mahasiswa yang merupakan salah satu elemen didalam masyarakat, telah terbius dan menjadi salah satu elemen konsumerisme. Memang tidak ada yang salah dari hal ini. Tapi ketika hal itu menjadi budaya dan dipaksakan karena nilai prestise didalam masyarakat maka, hal itu telah masuk kedalam ketidakrasionalan dalam mengkonsumsi suatu benda.Pasalnya, potret yang terjadi sekarang ini, masyrakat kita cenderung mengkonsumsi suatu benda dikarenakan nilai prestise yang ikut naik ketika mengkonsumsi benda tersebut. Parahnya, hal itu tidak dilihat dari kebutuhan yang diperlukan.
Masyarakat kita (Tidak semua) cenderung menggunakan benda bermerk mahal atau barang impor yang ternyata hanya mengedepankan gaya hidup. Tidak kepada nilai guna suatu barang. Alhasil, budaya berlebihan dalam mengkonsumsi barang menjadi lumrah di negeri ini. Sebut saja mahasiswa yang menggunakan BB mutahkir atau ipad tercanggih. Kegunaanya, mungkin sebatas buka jejaring sosial, BBMAN, dan semacamnya. Belum lagi penggunaan barang bermerk atau barang impor. Parahnya, banyak dari saudara-saudara kita yang berhutang atau mencicil untuk bisa menggunakan barang tersebut. Ini menjadi ironi. Karena pemikiran itu telah terjajah dengan budaya konsumerisme. Hingga akhirnya kita masih terjajah secara moral dan pemikiran oleh suatu perkembangan teknologi yang tidak dikritisi dengan baik.
Kesimpulan.
Alangkah bijak bila kita tidak menduakan nilai suatu barang dan berorientasi kepada nilai guna. Mengapa? Karena dengan adanya budaya konsumerisme didalam masyarakat, nilai benda menjadi dua fungsi. Dan berdampak kepada keuntungan semata tidak kepada pengkritisan nilai guna suatu kebutuhan. Tapi, hal ini tetap tidak mampu menahan laju konsumerisme masyarakat kita. Namun, kita bisa meminimalisir hal itu. Sehingga kita tidak terpaku dan menjadi korban konsumerisme. Dengan cara apa? Yaitu dengan cara melihat nilai kebutuhan kita terhadap suatu barang terssbut. Dan, tidak melihat sebagai tolak ukur gaya hidup yang bisa menaikan prestise seseorang dengan menggunakan barang itu. Memang tidak ada salahnya prestise itu  ada didalam masyarakat. Tapi, bila itu lebih ditonjolkan daripada nilai guna, maka sangat disayangkan pengkonsumsianya. Terlebih, barang itu dibeli hanya bertujuan sebagai naiknya status diri didalam masyarakat. semoga kita bisa mengkritisi suatu benda dengan mengedepankan nilai guna. Karena dengan begitu, kita berusaha memerdekakan diri kita dari budaya asing yang bermetamorfosis sebagai konsumerisme.
Sumber           :vanodezt.blogspot.com/2011/08/propaganda-media-menciptakan-budaya,  sosbud.kompasiana.com/2011/11/14/budaya-konsumerisme

Budaya Mudik Lebaran Di Indonesia


Budaya Mudik Lebaran Di Indonesia
Sebuah budaya unik terjadi setiap tahunnya di Indonesia, yang mana secara budaya sangat sakral untuk umat Muslim sehingga tak satupun orang muslim mau melewatkannya. Setelah berpuasa selama sebulan di bulan Ramadhan selesai meraka dengan antusias menjalankan budaya ini. Lebaran atau Idul Fitri adalah momen yang paling dinanti, hari di mana semua orang Muslim saling memaafkan kesalahan-kesalahan satu dengan yang lainnya.
Salah satu bentuk untuk merayakan Lebaran adalah pulang kampung atau lebih dikenal dengan mudik. Agar dapat berkumpul lagi dengan orang tua dan keluarga, jutaan orang mudik dari kota, di mana mereka bekerja atau tinggal, seperti Jakarta menuju ke tanah kelahirannya, yaitu desa. Mereka rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiket bus atau kereta, atau bahkan menyewa mobil. Berdesak-desakkan di dalam angkutan umum, berpanas-panasan di atas sepeda motor dan macet berjam-jam di jalanan merupakan kejadian yang selalu terjadi di setiap Lebaran. Bagi mereka, kerepotan, penderitaan dan kesulitan yang dihadapi selama dalam perjalanan pulang kampung tidak dianggap ada setelah mereka bertemu dengan anggota keluarganya. Dalam kenyataannya, perjalanan panjang selama mudik sering menjadi cerita yang menarik untuk diceritakan kepada keluarga.Pemudik (migrants) yang berasal dari desa yang sama biasanya melakukan mudik bersama-sama. Perusahaan di mana mereka bekerja menyediakan bis atau mobil sewaan untuk tenaga kerjanya sehingga mereka dapat pulang dengan lebih nyaman dan merasakan semangat kebersamaan. Seminggu atau bahkan sebulan sebelum Lebaran, mobil sewaan, tiket bis, dan kereta api sudah dipesan semua. Setiap orang pergi ke tempat tujuannya masing-masing.
Mudik tidak hanya untuk orang Muslim saja tetapi sudah menjadi tradisi tahunan yang tidak dapat dipisahkan dengan komunitas masyarakat Indonesia. Banyak orang yang bekerja dan tinggal di kota besar mudik karena pada Lebaran mereka mendapat liburan yang panjang. Biasanya, mereka akan mengunjungi dan mendoakan leluhurnya yang sudah meninggal di makam. Mudik juga bisa menjadi semacam terapi yang menguatkan hubungan kekeluargaan. Dalam aspek spiritual, mudik akan membangkitkan kesegaran dan tenaga baru bila mereka kembali bekerja di kota.
Orang-orang yang bekerja jauh dengan keluarganya di kota besar sering merasa ada yang kurang dalam hidupnya dan ‘kekurangan sesuatu’ ini dapat ditemukan kembali pada waktu mereka pulang kampung. Oleh karena itu mudik Lebaran, selain menjadi tradisi tahunan, juga memiliki efek perbaikan hidup atau terapi untuk rasa kehilangan bagi mereka yang hidup jauh dari orang tua dan keluarga.
Penduduk di kota besar bertambah setiap tahunnya ketika para pemudik kembali ke kota dengan membawa saudara atau kerabatnya ke kota. Cerita tentang kesuksesan hidup di kota membuat saudara, anggota keluarga, dan bahkan teman terpengaruh untuk meninggalkan keluarga dan desanya dan mengadu nasib di kota besar, dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Menurut Maman S. Mahayana dalam memaknai mudik. Menyimak tulisan Maman S. Mahayana (Dosen FIB UI, kandidat doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia) yang disampaikan pada International Conference of Law and Culture in South East Asia, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea, Depok, FHUI, 13 Juli 2011 dengan judul "Mudik di Indonesia dan Korea" yang dimuat website http://www.lenteratimur.com dan tulisan lainnya yang hampir serupa dengan judul "Akar Sosiologis Mudik Lebaran" yang lebih awal dimuat website http://megapolitan.kompas.com pada tanggal 8 September 2010, terdapat penafsiran makna menyudutkan bahwa mudik lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Benarkah demikian adanya ?
Maman S. Mahayana dengan gamblang menjelaskan bahwa kata mudik itu lebih dekat pada pengertian pergi ke udik, juga dapat ditelusuri dari kata bentukan dari kata dasar udik: memudik yang bermakna berlayar mudik (ke hulu), dan memudikkan yang bermakna menjalankan perahu kearah hulu. Mengingat udik berada di daerah atau wilayah hulu yang jauh di pegunungan atau pedalaman, maka kata udik mengacu pada suatu daerah atau wilayah yang berada di kawasan pedalaman, pedusunan, pedesaan atau perkampungan. Sampai di sini, sesungguhnya kata udik masih berkonotasi netral. Ketika seseorang dikatakan sebagai orang udik, artinya orang itu berasal dari daerah hulu atau daerah pedalaman. Pernyataan orang udik sama sekali tidak berkonotasi negatif.
Menurut Maman S. Mahayana, dalam perkembangannya, ketika bermunculan wilayah perkotaan, dan kota dianggap sebagai pusat kemajuan, makna kata udik yang semula netral bergeser menjadi berkonotasi negatif, yakni sebagai wilayah yang belum tersentuh oleh kemajuan. Wilayah-wilayah itu berada di daerah pedalaman, pedusunan, pedesaan atau perkampungan yang dianggap masih terbelakang. Maka, konsep udik dalam pengertian sebagai wilayah pedalaman, pedusunan, pedesaan atau perkampungan berseberangan maknanya dengan konsep kota dan perkotaan. Jadilah hubungan kota—desa atau kota—udik, sebagai hubungan yang maknanya berkaitan dengan kemajuan dan keterbelakangan. Inilah awal mula makna kata udik memperoleh nuansa negatif sebagai wilayah terbelakang yang belum tersentuh kemajuan.
Sampai tahun 1970-an, kata mudik belum dimaknai sebagai pulang ke kampung halaman. Bahkan, mudik tidak ada kaitannya dengan hari raya Iedul Fitri atau Lebaran. Ketika itu, mudik dan lebaran adalah dua peristiwa yang tidak ada hubungannya. Setidak-tidaknya, jika kita dapat mencermati sejumlah karya sastra yang bercerita tentang lebaran atau yang secara eksplisit menggunakan judul: lebaran, maka kita akan sia-sia saja mencari kata mudik di sana. Jadi, sampai tahun 1970-an itu, lebaran tidak ada hubungannya dengan mudik atau sebaliknya. Lebaran dan mudik adalah dua peristiwa yang ketika itu tidak ada perkaitannya. Pertanyaannya kini: kapan mulanya mudik mengalami penyempitan makna menjadi pulang ke kampung halaman yang lalu berkaitan dengan lebaran?
Fenomena mudik yang lalu dikaitkan dengan lebaran, terjadi pada awal pertengahan dasawarsa 1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966—1977) berhasil disulap menjadi kota metropolitan. Tanpa disadari, sistem pemerintahan sentralistik yang diterapkan penguasa Orde Baru memperoleh legitimasi sosiologis ketika ibukota negara melesat dengan berbagai kemajuannya dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air. Jakarta seketika menjadi pusat orientasi sosial, budaya, politik, dan pemerintahan. Bagi penduduk kota-kota lain, dan terutama orang-orang udik, Jakarta menjelma sebagai kota impian. Dengan begitu, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik yang di kampung tak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya. Boleh jadi, lebih dari 80 % para urbanis ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan. Dari jumlah itu, lebih setengahnya adalah masyarakat tidak terdidik atau setengah terdidik. Jadi, secara sosiologis, mereka adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang secara kultural satu kakinya berada di kampung halaman dan satu kakinya lagi enggan berada di Jakarta.
Dengan kesadaran itu, bagi mereka yang belum dapat menetap dan hidup mapan di Jakarta, secara psikologis, tidak hanya merasa perlu mendapatkan legitimasi sosial atas keberadaannya di Jakarta, tetapi juga sekaligus ingin menunjukkan kehadirannya, keberadaannya, eksistensinya. Di Jakarta, eksistensi mereka tenggelam, sementara legitimasi sosial atas keberadaan mereka juga tak kunjung datang. Itulah sebabnya, kehadiran mereka di kampung halaman akan dapat memenuhi harapan itu. Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu. Sebab, pada hari lebaran ada dimensi keagamaan; ada legitimasi seolah-olah lebaran adalah waktu yang tepat untuk berziarah. Pergi ke kampung halaman adalah kamuflase dari semangat memperoleh legitimasi sosial dan menunjukkan eksistensinya. Itulah awal mula pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai akar budaya.
Kesimpulan & Pendapat.
Jadi, sesungguhnya tradisi mudik (Jakarta ke udik) lebih disebabkan oleh problem sosial, dan sama sekali tidak didasarkan oleh akar budaya. Lebaran adalah momentumnya. Tengoklah, sebagian besar para pemudik itu adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang ingin menunjukkan kepada masyarakat udiknya, seolah-olah di Jakarta mereka telah mencapai sukses.
Begitulah, mudik pada hari Lebaran di Indonesia sesungguhnya tidak punya akar tradisi budaya, melainkan lebih disebabkan oleh problem sosial akibat sistem pemerintahan yang sentralistik dengan Jakarta sebagai pusat segala-galanya. Mengingat para pemudik sebagian besar adalah mereka yang belum dapat tinggal dan hidup mapan di Jakarta, maka mudik lebaran menjadi momentum penting bagi mereka untuk melegitimasi keberadaannya di ibukota sebagai seolah-olah telah mencapai sukses, baik secara materi maupun sosial. Terlepas dari latar belakang munculnya fenomena mudik itu, masalah yang ditimbulkannya dari tahun ke tahun –menjelang dan sesudah lebaran—selalu sama: antrean panjang karcis kereta api; harga sembako naik, harga tiket bus, kereta api, kapal laut, pesawat terbang, sampai ke ongkos angkot, bajaj, dan ojek, melonjak seketika; pesta para calo; kemacetan terjadi di mana-mana, dan jatuh korban kecelakaan lalu lintas. Lalu, selepas libur panjang lebaran itu, kantor-kantor pemerintah kosong lantaran para pegawainya menambah jatah libur, orang udik membawa lagi orang udik yang lain, dan masyarakat desa memelihara mimpi mereka untuk dapat menikmati gaya hidup kota. Mudik lebaran pada akhirnya lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Pemerintah atas nama pelayanan masyarakat  justru seperti sengaja memanjakan kemudaratan itu.
Menjelang hari besar seperti lebaran mudik merupakan pemandangan yang bisa dilihat dimana-mana. Semua orang merasa tidak afdol jika tak mudik. Padahal silaturahmi tidak hanya dilakukan di bulan Syawal. Karena jika tradisi mudik ini sampai mengorbankan puasa malah menjadi mudharat. Karena sesungguhnya puasa merupakan ibadah utama sedangkan mudik tradisi belaka. Semoga puasa teman- teman tetap terpelihara sehingga mendapat manfaat ganda yaitu meraih kemenangan dan mempererat silaturahmi. Amin.
Sumber            : dfian.com, http://raharja-blog.blogspot.com, http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas- web/artikel/sosial-budaya/1219-penafsiran-mudik-lebaran-dalam-aspek-sosial-budaya-bangsa-indonesia