Peraturan,
Regulasi dan Aspek Bisnis di bidang TI
Perkembangan
teknologi yang sangat pesat, membutuhkan pengaturan hukum yang berkaitan dengan
pemanfaatan teknologi tersebut. Sayangnya, hingga saat ini banyak negara belum
memiliki perundang-undangan khusus di bidang teknologi informasi, baik dalam
aspek pidana maupun perdatanya.
Saat
ini telah lahir hukum baru yang dikenal dengan hukum cyber atau hukum
telematika. Atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum
yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian
pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum
telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga
digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology),
hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.
Di
Indonesia, sudah ada UU ITE, UU No. 11 tahun 2008 yang mengatur tentang
informasi dan transaksi elektonik, Undang-Undang ini memiliki jangkauan
yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia
dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk
perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia
baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum
Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia,
mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.
Peraturan
dan Regulasi
Peraturan
adalah salah satu bentuk keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jadi,
kita harus menaati peraturan agar semua menjadi teratur dan orang akan merasa
nyaman. Peraturan adalah tindakan yang harus dilakukan atau yang tidak boleh
dilakukan (Joko Untoro & Tim Guru Indonesia).
Regulasi
adalah mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau
pembatasan. Regulasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya:
pembatasan hukum diumumkan oleh otoritas pemerintah, regulasi pengaturan diri
oleh suatu industri seperti melalui asosiasi perdagangan, Regulasi sosial
(misalnya norma), co-regulasi dan pasar. Seseorang dapat, mempertimbangkan
regulasi dalam tindakan perilaku misalnya menjatuhkan sanksi (seperti denda).
Peraturan
di Bidang IT
1.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 154,
Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3881 ).
2.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang lnformasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik lndonesia
Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4843).
3.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan lnformasi Publik (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun
2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4846).
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik lndonesia
Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3980).
5.
Peraturan Presiden Republik lndonesia
Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
6.
Peraturan Presiden Republik lndonesia
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara
Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.
7.
Keputusan Presiden Republik lndonesia
Nomor 84lP Tahun 2009 tentang Susunan Kabinet lndonesia Bersatu I1 Periode 2009
– 2014.
8.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.
21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika Nomor: 31
/PER/M.KOMINF0/0912008.
9.
Peraturan Menteri Komunikasi dan
lnformatika Nomor: 03/PM.Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan Pada
Beberapa KeputusanlPeraturan Menteri Perhubungan yang Mengatur Materi Muatan
Khusus di Bidang Pos dan Telekomunikasi.
10.
Peraturan Menteri Komunikasi dan
lnformatika Nomor: 26/PER/M.KOMINF0/5/2007 tentang Pengamanan Pemanfaatan
Jaringan Telekomunikasi Berbasis Protokol lnternet sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika Nomor:
16/PER/M.KOMINF0/10/2010.
11.
Peraturan Menteri Komunikasi dan
lnformatika Nomor: 01/PER/M.KOMINF0101/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan
Telekomunikasi.
12.
Peraturan Menteri Komunikasi dan
lnformatika Nomor: 17/PER/M.KOMINFO/1 01201 0 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Regulasi
di Bidang IT
1. Regulasi Bisnis di Bidang Merek
Terkait
dengan berbagai kasus merek yang terjadi perlu untuk diketahui apa pengertian
dari merek itu sendiri. Pengertian dari merek secara yuridis tercantum dalam
pasal 1 ayat (1) UU No. 15 tahun 2001 yang berbunyi :
“Merek
adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”.
Indonesia
adalah negara hukum dan hal itu diwujudkan dengan berbagai regulasi yang telah
dilahirkan untuk mengatasi berbagai masalah. Berkaitan dengan kasus-kasus
terkait merek yang banyak terjadi. Tidak hanya membuat aturan-aturan dalam
negeri, negeri ini juga ikut serta dalam berbagai perjanjain dan kesepakatan
internasional. Salah satunya adalah mengesahkan pertemuan Internasional tentang
TRIPs dan WTO yang telah diundangkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1994 Tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) sesuai dengan kesepakatan internasional bahwa
pada tanggal 1 Januari 2000, Indonesia sudah harus menerapkan semua
perjanjian-perjanjian yang ada dalam kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of
Intellectual Property Right, Including Trade in Counterfeit Good), penerapan
semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut adalah merupakan
konsekuensi Negara Indonesia sebagai
anggota dari WTO (Word Trade Organization). Isi perjanjian bisa dilihat di
https://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/t_agm0_e.htm
2. Regulasi Bisnis di Bidang Perlindungan
Konsumen
Peraturan
tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati rancangan undang-undang (RUU) tentang
perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun
diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20
April 1999.
Ada
dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen, yaitu :
Perlindungan Priventif
Perlindungan
yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau
menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai
melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa
tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli atau menggunakan atau
memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu
tersebut.
Perlindungan Kuratif
Perlindungan
yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan
barang atau jasa tertentu oleh konsumen. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa
konsumen belum tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan
pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang
membeli suatu barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen,
cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari
suatu barang atau jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau
pemberian.
3. Regulasi Larangan Praktek Monopoli
Pengertian
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999
tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikankepentingan umum.
Dalam
melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi
ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
4. Regulasi di Bidang Hukum Dagang
Perkembangan
hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/
1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di
Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan
(Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) .
Tetapi pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat
menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di
samping hokum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang
berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya
mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang
ini bersifat unifikasi.
Karena
bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke-17 diadakan kodifikasi
dalam hokum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-1715) yaitu
Corbert dengan peraturan (Ordonnance Du Commerce) 1673. Dan pada tahun 1681
disusun Ordonnance Du Commerce yang mengatur tenteng kedaulatan.
Cyber
Law
Cyberlaw
adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya
diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi
dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, internet
dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.
Semakin
banyak munculnya kasus “CyberCrime” di Indonesia, seperti pencurian kartu
kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya
email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak
dikehendaki ke dalam programmer komputer. Maka dibuatlah sebuah regulasi
konten, yaitu :
·
Keamanan nasional : instruksi pada
pembuatan bom, produksi obat/racun tidak sah, aktivitas teroris.
·
Protection of minors (Perlindungan
pelengkap) : abusive forms of marketing, violence, pornography
·
Protection of human dignity(Perlindungan
martabat manusia) : hasutan kebencian rasial, diskriminasi rasial.
·
Keamanan ekonomi : penipuan,
instructions on pirating credit cards, scam, cybercrime.
·
Keamanan informasi : Cybercrime, Phising
·
Protection of Privacy
·
Protection of Reputation
·
Intellectual Property
Peraturan
dalam Cyberlaw
Sebagai
orang yang sering memanfaatkan internet untuk keperluaan sehari-hari sebaiknya
kita membaca undang-undang transaksi elektronis yang telah disyahkan pada tahun
2008. Undang-undang tersebut dapat didownload dari website http://www.ri.go.id
dan dapat langsung membaca bab VII yang mengatur tentang tindakan yang
dilarang.
Permasalahan
yang sering muncul adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer
dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana yang
mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum lengkap.
Hingga
saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan untuk
menjerat penjahat cybercrime. Untuk kasus carding misalnya, kepolisian baru
bisa menjerat pelaku kejahatan komputer dengan pasal 363 soal pencurian karena
yang dilakukan tersangka memang mencuri data kartu kredit orang lain.
Cyberlaw
di Indonesia
Undang-undang
informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) atau yang disebut cyberlaw,
digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang
memanfaatkan internet sebagai medianya,baik transaksi maupun pemanfaatan
informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan
melalui internet.
UU
ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet dan masyarakat pada
umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya bukti elektronik dan
tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah dipengadilan.UU ITE
sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret
2008. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail
bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya.Perbuatan
yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
·
Pasal 27: Asusila, Perjudian,
Penghinaan, Pemerasan
·
Pasal 28: Berita Bohong dan Menyesatkan,
Berita Kebencian dan Permusuhan
·
Pasal 29: Ancaman Kekerasan dan
Menakut-nakuti
·
Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain
Tanpa Izin, Cracking
·
Pasal 31: Penyadapan, Perubahan,
Penghilangan Informasi
Tentang
UU ITE
UU
ITE (Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik )adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia
UU
ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan
internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada
UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui
internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan
masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya
bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun
oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI.
Tim
Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad
bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya
dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai
naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik. Kedua naskah akademis
tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin
Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Keterbatasan
UU Telekomunikasi dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi
Salah
satu UU yang berhubungan dengan pengaturan penggunaan teknologi informasi yaitu
UU N0. 36. Isi dari UU No. 36 adalah apa arti dari telekomunikasi, asas dan
tujuan dari telekomunikasi, penyelenggaraan, perizinan, pengamanan, sangsi
administrasi dan ketentuan pidana dari pengguanaan telekomunikasi, yang dimana
semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPR RI.
Pada
UU No. 36 tentang telekomunikasi mempunyai salah satu tujuan yang berisikan
upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan
pemerintah, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa
Aspek
bisnis di bidang teknologi informasi
Teknologi
Informasi kini berkembang semakin pesat. Teknologi Informasi bukan hanya
sebatas teknologi komputer. Teknologi Informasi merupakan semua perangkat atau
peralatan yang dapat membantu seseorang bekerja dan segala hal yang berhubungan
dengan suatu proses, dan juga bagaimana suatu informasi itu dapat sampai ke
pihak yang membutuhkan, baik berupa data, suara ataupun video. Dalam bidang
Ekonomi dan bisnis, perkembangan Teknologi sangat berpengaruh terhadap aspek
ekonomi dan bisnis di dunia dan secara khusus di Indonesia. Dalam dunia ekonomi
dan bisnis, Teknologi Informasi dimanfaatkan untuk perdagangan. Namun
dalam mendirikan suatu badan usaha atau
bisnis khusunya di bidang IT, ada beberapa yang harus kita ketahui dan lakukan
yaitu berupa prosedur dalam pendirian bisnis.
Prosedur
Pendirian Bisnis
Berikut
prosedur pendirian bisnis yang harus kita lakukan sebelum memulai membangun
usaha atau bisnis:
1.
Mengajukan permohonan rekomendasi kepada
walikota/bupati.
2.
Mengajukan permohonan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dengan cara mengisi formulir surat Izin Mendirikan Bangunan yang
ditujukan kepada walikota/bupati dengan Cq. Kepala dinas permukiman, disertai
dengan persyaratan dokumen yang diperlukan.
3.
Mengajukan Permohonan Izin Gangguan.
4.
Mengisi formulir surat pernyataan
kesanggupan mematuhi ketentuan teknis.
5.
Membuat Tanda Daftar Industri (TDI).
Kontrak
Kerja
1. Masa percobaan
Masa percobaan
dimaksudkan untuk memperhatikan calon buruh (magang), mampu atau tidak untuk
melakukan pekerjaan yang akan diserahkan kepadanya serta untuk mengetahui
kepribadian calon buruh (magang).
2. Yang Dapat Membuat Perjanjian Kerja
Untuk dapat membuat
(kontrak) perjanjian kerja adalah orang dewasa.
3. Bentuk Perjanjian Kerja
Bentuk dari Perjanjian
Kerja untuk waktu tertentu berbeda dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak
tertentu.
4. Isi Perjanjian Kerja
Pada pokoknya isi dari
perjanjian kerja tidak dilarang oleh peraturan perundangan atau tidak
bertentangan dengan ketertiban atau kesusilaan.
5. Jangka Waktu Perjanjian Kerja Untuk Waktu
Tertentu
Dalam perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu, dapat diadakan
paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang hanya 1 (satu) kali saja
dengan waktu yang sama, tetapi paling lama 1 (satu) tahun.
6. Penggunaan Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu hanya dapat diadakan untuk pekerjaan tertentu yang menurut
sifat, jenis atau kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu.
7. Uang Panjar
Jika pada suatu
pembuatan perjanjian kerja diberikan oleh majikan dan diterima oleh buruh uang
panjar, maka pihak manapun tidak berwenang membatalkan kontrak (perjanjian)
kerja itu dengan jalan tidak meminta kembali atau mengembalikan uang panjar
(Pasal 1601e KUH Perdata). Meskipun uang panjar dikembalikan atau dianggap
telah hilang, perjanjian kerja tetap ada.
Kontrak
Bisnis
Kontrak
Bisnis merupakan suatu perjanjian dalam bentuk tertulis dimana substansi yang
disetujui oleh para pihak yang terkait didalamnya bermuatan bisnis. Adapaun
bisnis adalah tindakan-tindakan yang mempunyai nilai komersial. Dengan demikian
kontrak bisnis adalah perjanjian tertulis antara dua atau lebih pihak yang
mempunyai nilai komersial. Dalam pengertian yang demikian kontrak bisnis harus
dibedakan dengan suatu kontrak kawin atau perjanjian kawin.
Pakta
Integritas
Dalam
Pasal 1 Keppres No.80/2003 mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan
jasa pemerintah disebutkan bahwa yang dimaksud Pakta Integritas adalah surat
pernyataan yang ditandatangani oleh pengguna barang/jasa/panitia
pengadaan/pejabat pengadaan / penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk
mencegah dan tidak melakukan KKN dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Pakta
Integritas merupakan suatu bentuk kesepakatan tertulis mengenai tranparansi dan
pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa barang publik melalui
dokumen-dokumen yang terkait, yang ditandatangani kedua belah pihak, baik
sektor publik maupun penawar dari pihak swasta. Pelaksanaan dari Pakta tersebut
dipantau dan diawasi baik oleh organisasi masyarakat madani maupun oleh suatu
badan independen dari pemerintah atau swasta yang dibentuk untuk melaksanakan
tugas tersebut atau yang memang sudah ada dan tidak terkait dalam proses
pengadaan barang dan jasa itu. Komponen penting lainnya dalam pakta ini adalah
mekanisme resolusi konflik melalui arbitrasi dan sejumlah sanksi yang
sebelumnya telah diumumkan atas pelanggaran terhadap peraturan yang telah
disepakati yang berlaku bagi kedua belah pihak. Tujuan pakta integritas adalah
Mendukung sektor publik untuk dapat menghasilkan barang dan jasa pada harga
bersaing tanpa adanya korupsi yang menyebabkan penyimpangan harga dalam
pengadaan barang dan jasa barang dan jasa.
Pendapat
Undang
– undang ITE sebagai dasar peraturan, regulasi hukum di bidang Teknologi
Informasi dan komunikasi dapat memberikan rasa aman dan kenyamanan dalam
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi maupun menjalankan bisnis di
bidang tersebut. Dalam sosialisasi dan penerapannya, undang – undang ITE atau
Cyber Law masih kurang diketahui masyarakat, diperlukan adanya pelatihan atau
seminar tentang regulasi pada bidang TI, dan penegakan hukum yang tegas,
sehingga Undang – undang ITE atau cyber law lebih jelas terasa dan memeberikan
rasa aman pada masyarakat pengguna, dan pelaku bisnis di bidang TI.
Sumber
http://pamsdtmania.blogspot.com/2015/06/peraturan-regulasi-dan-aspek-bisnis-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar